PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB) JALUR INKLUSI TAHUN AJARAN 2020/2021
Catatan Bunda Nefri,
26 Juni 2020
Sudah 4 hari, saya menikmati rebahan.
Saat rebahan, saya sesekali mendengarkan berita.
Ada sepotong berita yang menarik perhatian saya, karena terus menerus diulang dari beberapa stasiun TV.
Berita itu tentang PPDB. Penerimaan Peserta Didik Baru tahun ajaran 2020-2021 .
Yah, tahun ajaran baru tetap perlu berjalan.
Saya setuju, dan sangat mendukung proses penerimaan calon siswa/i baru, ditengah situasi pandemi ini.
Pendidikan itu penting. Sangat penting.
Jangan karena Corona, maka pendidikan berhenti.
Dan saya tergelitik dengan pembahasan dalam berbagai berita PPDB tersebut.
Berita-berita ini, terus mengulang soal umur calon peserta didik dalam PPDB di wilayah DKI Jakarta.
Ada seorang ibu yang emosi dan menyampaikan ketakutan “anaknya tidak bisa diterima”.
Ada yang bilang “umur lapuk, mendaftar PPDB di kelas”.
Ada pejabat yang menyoroti perlunya mempertimbangkan kepandaian di atas rata-rata (anak genius).
Ada lagi bapak-bapak yang bergegas datang ke lembaga bantuan hukum, untuk memperjuangkan anaknya diterima sekolah, dan mendapat kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan.
Ada orangtua yang anaknya saat diterima di jenjang SD dulu, tergolong masuk usia muda (dibawah 6 tahun). Kini dengan adanya pengumuman peraturan PPDB 2020-2021, khawatir terkurangi kesempatan lolos PPDB SMP.
Dalam tulisan kali ini, untuk memfasilitasi pembaca lebih mampu menemukan akar masalah kehebohan PPDB di DKI Jakarta, saya ijin menguraikan dengan lebih detail dan utuh. Tidak sepotong sepotong seperti halnya berita yang ada di media saat ini. Yang menurut saya, justru membuat ada polemik baru.
Baiklah.
Kehebohan berita tersebut, dugaan saya, karena pelaksanaan kebijakan, akibat penyesuaian PPDB oleh pengambil kebijakan wilayah DKI Jakarta. Penyesuaian dilakukan atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB Tingkat Nasional (link), Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 43 Tahun 2019 tentang PPDB Tingkat Daerah (link). Diteruskan lagi dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 501 Tahun 2020. (link)
Dasar penyesuaiannya, menurut Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana (26/6/2020, Kompas.com) adalah karena Jakarta memiliki demografi yang unik. Penyesuaian seperti ini merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan sangat disarankan, dilakukan oleh pengambil kebijakan daerah. Mengingat setiap daerah di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing. Penyesuaian atas peraturan pendidikan di tingkat pusat ke daerah ini selain merupakan bagian dari pelaksanaan sistem otonomi daerah, juga dapat mempermudah pencapaian tujuan. Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Balitbang Kemdikbud Prof Khairil Anwar Notodiputro saat itu (28/11/2011. Kompas.com) “Pemberlakuan otonomi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU tersebut memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola pendidikan”. Jadi sah ya, aturan penyesuaiannya.
Tentang konten penyesuaian PPDB, ada kesamaan yang disampaikan dari para narasumber yang disorot di TV. Mereka kompak berbicara soal umur, ketidakadilan dan kondisi khusus (narasumber menyinggung tentang masalah anak dengan prestasi) dimana ujung yang disampaikan kembali pada kekhawatiran anak tidak mampu lolos PPDB. Lalu dimana pemicu kehebohan ini?
Mari kita bahas satu-satu masalah dalam PPDB yang sedang ramai diperbincangkan.
Membandingkan 3 peraturan tentang PPDB tersebut di atas, saya menemukan ada “penyesuaian” konten. Yang awalnya susunan screening PPDB versi Permendikbud seperti ini:
1. Zonasi. Dengan kuota 50% jumlah seat yang tersedia,
2. Afirmasi. Dengan jumlah kuota 15% jumlah seat yang tesedia,
3. Sebab perpindahan tugas orangtua. Dengan jumlah kuota 5% jumlah seat yang tersedia dan diakhiri dengan
4. Jalur khusus. Dimana untuk hal ini, tidak disebutkan jumlah kuotanya. Tetapi berpatokan pada sisa kuota yang tersedia, setelah dipakai oleh 3 jalur sebelumnya.
Disesuaikan menjadi PPDB versi Peraturan Gubernur DKI Jakarta sebagai berikut:
A. untuk SD:
1. Jalur Inklusi.
2. PPDB untuk calon peserta didik baru dan dalam Daerah yang terdiri dan Jalur Zonasi dan
Jalur Non Zonasi.
3. PPDB untuk calon peserta didik baru dan luar Daerah.
4. PPDB untuk calon peserta didik baru dan luar Daerah karena perpindahan domisili orang
tua/ wali peserta didik dengan alasan tugas atau terjadi bencana alam/ sosial.
B. untuk SMP dan SMA:
1. Jalur Inklusi.
2. Jalur Afirmasi.
3. Jalur Berprestasi.
4. PPDB untuk calon peserta didik baru dan dalam Daerah yang terdiri dan Jalur Zonasi dan Jalur
Non Zonasi.
5. PPDB untuk calon peserta didik baru dan luar Daerah.
6. PPDB untuk calon peserta didik baru dan luar Daerah karena perpindahan domisili orang
tua/ wali peserta didik dengan alasan tugas atau terjadi bencana alam/ sosial.
C. untuk SMK:
1. Jalur Inklusi.
2. Jalur Afirmasi.
3. Jalur Berprestasi.
4. PPDB untuk calon peserta didik baru dan dalam Daerah
5. PPDB untuk calon peserta didik baru dan luar Daerah karena perpindahan domisili orang
tua/ wali peserta didik dengan alasan tugas dan/atau terjadi bencana alam/sosial.
Ketika sampai ke level Kepala Dinas Pendidikan, peraturan ini dikembangkan lebih detail sebagai Petunjuk Teknis (Salinan ttg Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dapat dilihat di sini).
Hal penting yang saya temukan dan perlu sampaikan, terkait penyesuaian peraturan sbb:
1. Penulisan kata Inklusi dan penjelasannya, ditambahkan dalam jalur PPDB. Bahkan di Lampiran I, tentang Rasio Kelas, disebutkan dengan jelas bahwa untuk pendidikan inklusi diberikan kuota maksimum 2 (dua) peserta didik per rombongan belajar
2. Perubahan bobot quota dari jalur PPDB yang sudah disebutkan oleh 2 peraturan sebelumnya.
Contoh Jalur Zonasi dari 50% berubah menjadi beberapa pilihan, yang bervariasi dari 55% hingga 5%. Dimana pilihan-pilihan ini, disesuaikan dengan jalur PPDBnya dan prasyarat lain yang terkait.
Dari hal penting di atas, karena saya, sebagai orang yang telah berkecimpung di dunia ABK hampir 20 tahun, memiliki perhatian besar pada dunia pendidikan ABK. Maka ijinkan saya untuk mengulas hanya pada nomer 1, yaitu Soal inklusi.
Telah dimasukkannya kata Inklusi dalam PPDB, menurut saya, merupakan terobosan yang sangat bagus dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan di Indonesia. Saya meyakini, dengan disebutkan secara jelas kata inklusi dalam pergub provinsi DKI dan Kep. Kadisdik Provinsi DKI Jakarta tersebut, ada harapan besar bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang hingga saat ini belum mendapat banyak perhatian atas layanan pendidikan akan terfasilitasi. Ya, menurut saya, peraturan ini bukan hanya jadi perluasan Permen dan Pergub tetapi juga menjadi kunci pembuka dilaksanakannya UU no 8 tahun 2016, pasal 10, tentang hak mendapatkan pendidikan bagi penyandang disabilitas. (link)
Yang perlu saya garis bawahi, masih terkait dengan kata inklusi, menurut saya, meskipun telah disampaikan ada jalur inklusi, tetapi detail PPDBnya belum lengkap. Seringkas inilah penjelasan yang disampaikan dalam lampiran, yang dijadikan patokan cara seleksi PPDB jalur inklusi,
a. Untuk SD berdasarkan usia dan waktu pendaftaran
b. Untuk SMP berdasarkan usia dan rerata nilai raport 5 semester terakhir di jenjang SD.
c. Untuk SMA berdasarkan usia dan rerata nilai raport 5 semester di jenjang SMP.
Dimana dalam penentuan calon peserta PPDB disebutkan, calon yang berhak mengikuti PPDB jalur inklusi adalah anak berkebutuhan khusus (ABK). Pemenuhan kriteria berkebutuhan khususnya ditentukan oleh hasil pemeriksaan pada anak yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Psikolog/ Dokter/pihak yang berkompeten
Kekhawatiran orangtua (anaknya akan masuk SMP) yang dicetuskan melalui ucapan salah seorang narasumber dalam berita TV tersebut menggunakan kata kunci usia lapuk. Saya menduga hal ini disebabkan karena ada kekhawatiran orangtua tersebut atas kemungkinan anak lain yang berusia 15 tahun mendaftar di kelas 1 SMP, lolos PPDB. (15 tahun dianggap usia yang “lapuk” ya? Karena umumnya anak berusia 12 hingga 13 tahun saat mendaftar SMP). Dimana anak tersebut lolos PPDB (kemungkinan besar) karena alasan berkebutuhan khusus. Sedangkan anaknya sendiri (saya mengartikan yang diperjuangkan adalah anaknya) bisa tidak diterima, meskipun nilai rerata raportnya cukup tinggi. Atau anaknya mengantongi piagam yang bisa digunakan untuk lolos PPDB berdasarkan jalur prestasi akademik ataupun non akademik. Menurutnya, hal ini karena jalur zonasi bukan penentu pertama lolos PPDB tapi usia anak.
Memang dalam Peraturan Kadisdik, saya menemukan ketidakkonsistenan dalam penulisan. Dalam Lampiran II huruf D. Proses Seleksi, hanya disebutkan jalur Zonasi, Afirmasi, Prestasi Akademik dan Luar Jakarta, Jalur Non Akademik dan jalur pindah tugas orangtua dan anak guru. Jalur Inklusi tidak disebutkan
Sedangkan pada lampiran keputusan yang mengulas tentang urutan jalur seleksi secara detail, Jalur Inklusif yang disebutkan di bagian pertama (Lampiran III).
Kalau saya boleh menarik sedikit ke belakang, (tetap menyoroti tentang jalur inklusi) alasan usia yang dijadikan acuan dalam PPDB jalur inklusi, merupakan bagian dari skrening kesiapan sekolah (Readiness for School).
Salah satu alat untuk melakukan skrening “Readiness for School” yang kini telah dikembangkan di berbagai negara dengan berbagai level pendidikan, merujuk pada Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test (Nst). Tes yang disusun oleh Prof. Dr. F.J. Monks (guru besar psikologi perkembangan di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda), Drs. H. Rost dan Drs. N.H. Coffie. NST awalnya dikembangkan di Nijmegen – Nederland tahun 1978. Tujuan dilakukan NST sebagai alat skrening “Readiness for School” tersebut adalah:
1. Mengetahui tingkat kematangan anak memasuki pendidikan TK dan SD.
2. Prognosis (meramalkan) thd prestasi sekolah anak di SD.
3. Mengetahui kemampuan-kemampuan tertentu anak yang sudah/ belum matang dan perlu
latihan/pembinaan/pengembangan/ peningkatan.
Yang dengan berkembangnya keilmuan, update Prof Dr. F.J Monks menyampaikan proses kematangan perkembangan untuk siap sekolah menjadi proses yang tidak pernah berhenti. Acuan usia tidak lagi pada satu angka, tetapi dalam sebuah range usia. Dengan ada batas bawah dan batas atas untuk usia “normal” seorang anak bisa dikategorikan ada di area anak regular untuk siap sekolah.
Maka penentuan readiness for school berkembang lagi. Muncul pemikiran atas anak-anak yang ada di luar batasan usia normal tersebut perlu mendapatkan layanan khusus. Baik untuk menyetimbangkan kematangannya yang masih tertinggal karena tugas perkembangan sesuai usia, belum selesai. Ataupun untuk meraih peningkatan potensi diri karena anak memiliki kecepatan lebih untuk menguasai tugas perkembangan. Ia sudah diatas perkembangan rata-rata anak seusianya.
Test-test kesiapan sekolahpun kemudian berkembang disesuaikan dengan jenjang sekolahnya. Tetap berpijak pada 4 area perkembangan, tetapi tingkat kesiapan anak disesuaikan. Kesiapan anak bersekolah di SD, tentunya berbeda dengan kesiapan anak untuk sekolah di SMP, SMA atau SMK, atau level diatasnya. Yang kenyataannya, saat ini dengan berbagai alasan, maka usia lahir lah yang dijadikan patokan untuk merujuk mampu lolos PPDB. Bukan test kesiapan sekolah sesuai jenjang usia, yang berdasarkan usia perkembangan.
Maka, melihat alasan
1. Pengumuman peraturan PPDB dengan tenggat waktu singkat, sampai pada saat pelaksanaan PPDB (kurang lebih hanya 40 hari)
2. Kurang tepatnya cara mensosialisasi penyesuaian peraturan kemendikbud sampai ke kepala dinas pendidikan dan juga ke kepala sekolah setempat. Meskipun informasinya, telah dilakukan sosialisasi secara intensif di wilayah DKI. Termasuk ditempelkan pengumuman sampai wilayah RT dan RW.
3. Kurang detail, penjelasan tentang jalur baru, yaitu jalur inklusi dalam PPDB.
4. Ada penyesuaian kuota masing-masing jalur penerimaan dengan area yang luas.
5. Bahasan inklusi tidak banyak diikutsertakan ketika membicarakan PPDB. Sehingga kemungkinan besar orangtua, calon pendaftar PPDB SMP dan SMA, bahkan sampai pengambil kebijakan mencampur adukan syarat lulus seleksi PPDB antara berbagai jalur.
Saya pun bisa memahami kekhawatiran orangtua bahwa anaknya kemungkinan tidak lolos PPDB, karena seleksi berdasarkan usia. Walaupun menurut saya, kekhawatiran ini, bisa tidak berhenti sampai PPDB saja. Ada kemungkinan hasil PPDB berpotensi memicu masalah-masalah baru dalam proses belajar di sekolah tersebut. Seperti proses belajar mengajar yang terganggu atau siswa/I yang tidak mencapai tujuan pendidikan, sesuai standar.
Menghadapi kekhawatiran tersebut, Jika saya boleh menyarankan, solusinya adalah perlu ditambahkan klasual-klausal yang menjelaskan detail PPDB. Klausal-klausal tersebut, saya adalah :
1. Kemampuan sekolah dalam menerima jenis ke-ABK-an dan tingkat kesiapan sekolahnya.
Saat ini, yang saya pahami, belum semua sekolah memiliki SDM untuk semua jenis ke-ABK-an. Maka ketika tidak disebutkan jenis ABK yang mampu diterima sebuah sekolah, dengan dibuktikan sekolah tersebut memiliki sarana, prasarana dan SDM yang sesuai, maka kelancaran proses belajar mengajarpun dapat terganggu. Contoh sekolah yang tidak memiliki sarana buku paket dan alat uji dengan huruf braille, menerima ABK dengan hambatan pengelihatan. Atau sekolah yang tidak memiliki SDM menguasai Bahasa isyarat, menerima ABK dengan hambatan pendengaran.
Demikian juga tingkat kesiapan sekolah untuk satu jenis ABK. Misalnya anak dengan hambatan pengelihatan, perlu diberikan informasi sebesar apa hambatan anak yang mampu difasilitasi sekolah tersebut. Dalam hal ini pertimbangan SDM dan sarana, prasarana yang mampu disiapkan sekolah yang menjadi rujukan utama. Anak yang pengelihatannya terhambat sampai 30 hingga 40% masih mungkin untuk bergabung di kelas reguler tanpa perlu sarana dan prasarana khusus.
2. Usia.
Dalam penjelasan tentang jalur inklusi, hanya disebutkan tentang usia. Maka perlu dijelaskan apakah usia yang disebutkan merupakan usia lahir (dihitung sejak dari anak dilahirkan) atau usia perkembangan (dengan berpatokan pada perkembangan yang dikuasai anak, sesuai jenjang usia). Karena untuk ABK, usia perkembangan punya kemungkinan besar tidak setara dengan usia lahir.
Perlu diketahui bahwa seorang anak jenius juga termasuk ke dalam kategori ABK (Cerdas Istimewa Bakat Istimewa), artinya perlu penanganan khusus yang tidak sama dengan anak yang seusianya untuk mengakomodasi kejeniusannya.
Maka sebaiknya, menurut saya, usia yang dicantumkan dalam skrening PPDB untuk jalur inklusi, diberi tambahan keterangan. Bahwa usia disini adalah tentang usia perkembangan dan bukan usia lahir.
Hal yang menganggu saya lagi, masih terkait dengan jalur inklusi PPDB DKI Jakarta (maupun di level nasional) jika ABK yang berusia 12 tahun diterima di kelas pertama SD. Anak tersebut minimal akan berusia 18 tahun saat lulus SD. Dimana usia 18 tahun secara biologis, sudah memasuki pertengahan dunia remaja. Fisik dan mentalnya tentu sudah memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan teman-teman sekelasnya yang baru berusia 11 hingga13 tahun. Kesenjangan akibat beda usia ini, di fisik dan mental, bisa memancing masalah psikologis baik untuk ABK sendiri maupun teman-teman sekelas, dan guru yang terlibat.
Masalah lain lagi ya?
Lalu apakah ini, artinya sekolah inklusi tidak mungkin dilaksanakan? Apakah PPDB di DKI Jakarta untuk tahun 2020-2021 yang sudah dilaksanakan perlu dibatalkan? Sebagaimana gencar diusulkan hingga ke tingkat pemerintah pusat.
Menurut saya tidak.
Menurut saya, langkah penginklusian ini tidak selayaknya diundurkan lagi. Kelas inklusi sangat perlu dikembangkan. Kita sudah mulai, jangan mundur lagi. Tetapi saya berharap sekali, dalam pelaksanaannya, memasukkan pertimbangk untuk
1. Perlu lakukan penjelasan lebih baik pada media sebagai sarana sosialisasi dan edukasi masyarakat. Penjelasan tentang alasan dan batasan yang jelas, kriteria PPDB jalur inklusi sebagaimana telah saya sebutkan di atas.
2. Yang terutama lagi, menurut saya, selain melakukan penjelasan, sebaiknya pengambil kebijakan perlu memperhitungkan dan segera mempersiapkan diri, untuk mengakomodir ABK yang tidak lolos dalam seleksi dengan kriteria PPDB jalur inklusi (karena jatahnya hanya 2 orang per satu rombongan belajar). Dimana alasan tidak diterima karena sudah melewati batas usia atas yang bisa diterima pada satu jenjang pendidikan. ABK ini perlu solusi. Mereka tidak selayaknya diabaikan sebagai warga negara yang punya hak atas pendidikannya.
Saya menjumpai tidak sedikit ABK yang dengan alasan tertentu belum dapat kesempatan untuk mengikuti jalur pendidikan reguler ataupun inklusi ataupun sekolah luar biasa. Yang saya maksud dengan belum dapat kesempatan adalah anak tidak terlihat hadir dan tidak tercatat sebagai siswa/i di sekolah tersebut. Anak dengan keadaan seperti ini tidak dianggap “bersekolah”. Dan karena itu ia tidak akan mendapat NIS (Nomer Induk Siswa), yang dijadikan acuan seorang anak tercatat dengan status siswa/i. Padahal secara rutin ABK tipe ini mengikuti kelas terapi. Anak bisa mengikuti satu atau bahkan lebih terapi, yang bisa dikaitkan upaya memenuhi tugas perkembangan. Dimana terapi ini dilakukan oleh orang-orang berbasis kependidikan ataupun medis. Seperti Terapi wicara, Terapi okupasi, Fisioterapi, dsbnya.
Dalam kutipan dari Bisnis.com (link) disebutkan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkirakan bahwa hampir 70% anak berkebutuhan khusus tidak memperoleh pendidikan yang layak.Data terakhir dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2017 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia adalah sebanyak 1,6 juta orang. Artinya, satu juta lebih ABK belum memperoleh pendidikan yang penting bagi kehidupannya.
Proses pendidikan, yang menurut para ahli pendidikan, diawali dengan memfasiltasi perkembangan anak. Perkembangan anak, oleh para ahli pendidikan, digambarkan sebagai sebuah model pyramid. Model pyramid pendidikan pertama yang bisa ditelusuri, dibangun oleh Nasional Training Laboratories Institut pada awal tahun 1960, di sebuah kampus di wilayah Bethel, Maine. Dimana model pyramid ini, kini menjadi basis pendidikan di negara yang maju dengan perhatian terhadap pendidikan seperti Jepang dan Swedia. Anak-anak dinyatakan siap untuk sekolah (sesuai dengan test Readiness for School) ketika sudah memenuhi balok-balok perkembangan yang disusun dalam model piramida pembelajaran tersebut. Hal ini sejalan dengan test kesiapan sekolah sebagaimana telah dimodelkan oleh Prof Dr. F.J Monks dengan NSTnya. Maka menurut saya, selayaknya anak-anak yang karena keterbatasannya masih mengikuti kelas terapi, belum lolos test kesiapan sekolah, juga dianggap telah mengikuti proses belajar. Atau lebih tepatnya proses persiapan belajar.
Yang saya bayangkan, ketika persiapan belajar dengan terapi boleh disebutkan sebagai bagian dari proses belajar, maka orangtua lebih legowo ketika anaknya belum bisa diterima melalui PPDB. Orangtua juga tidak memaksakan diri untuk mengikutsertakan anaknya mengikuti PPDB, ketika mengerti tentang test kesiapan sekolah. Sebagaimana telah diterapkan di Jepang dan Swedia.
Pun proses PPDB lebih efektif, karena yang lolos PPDB, memang punya kesiapan sekolah. Kesiapan sekolah yang mampu memfasilitasi anak tersebut mencapai tujuan pendidikan sesuai jenjang pendidikan yang diikutinya. Dimana sejalan dengan keefektifan PPDB tersebut maka:
1. Layanan Pendidikan Usia Dini akan lebih intensif dan terstruktur dalam mengawal anak/ bayi mampu menyelesaikan tugas perkembangan. (Tidak lagi ada anak yang lolos pengamatan dan terlewat jauh saat ditemukan masalah dalam perkembangan, karena telah melalui deteksi dini). Ini artinya jumlah ABK di Indonesia juga dapat ditekan tingkat pertambahannya.
2. Terbuka ruang untuk mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan tema “Merdeka Belajar” dan “Berpihak pada anak”. Karena akan muncul ABK yang mampu mengembangkan potensi dirinya secara bebas, melalui pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya dan tidak selalu mengacu pada kurikulum pendidikan baku.
3. Pendidikan kreatif terfasilitasi untuk berkembang.
Saya membayangkan akan berkembang banyak sekali cara belajar, materi pembelajaran dan standar pencapaian pembelajaran yang timbul karena penghargaan terhadap kompetensi ditunjukkan oleh karya. Mungkin sekolah alam. Mungkin homeschooling. Dsbnya
4. Sekolah khusus, seperti SLB (sekolah luar biasa), yang sejak digaungkannya kata inklusi menjadi kekurangan peminat. Padahal kurikulum SLB berbeda dengan kurikulum sekolah reguler/sekolah inklusi. SLB didisain untuk memfasilitasi anak-anak dengan kondisi tertentu yang berhadapan dengan tantangan besar untuk mampu belajar bersama anak reguler. Kurikulum di SLB lebih banyak mengarah kepada kemandirian. Kemandirian untuk mengatasi tantangan karena ke-tuna-annya. Tujuan pendidikannya berbeda dengan sekolah reguler/ inklusi.
5. Ucapan bahwa “Bisa jadi anak yang diterima adalah anak-anak yang tidak naik di sekolah lain”. Saya mengartikan ada pendapat, anak-anak dengan berbagai alasan tidak mampu mengikuti pembelajaran di kelas, dibuktikan tidak naik kelas, tidak selayaknya mendapat kesempatan untuk tetap belajar. Lalu bagaimana nasib anak-anak yang tidak naik kelas dan tidak bisa diterima bersekolah kembali? Bagaimana dengan pendapat Prof Mock terupdate bahwa proses perkembangan terus terjadi, tidak berhenti karena anak sudah mencapai batas atas usia yang diperbolehkan untuk bergabung dengan jenjang pendidikan tertentu?
6. Dari hasil PPDB DKI 2020-2021, disampaikan ada 7 anak dengan usia sekitar 20an yang diterima di SMA. Ini artinya hanya 0,06 persen siswa. Menurut saya, jumlah ini cukup adil. Dan menurut saya, penting untuk terus dikawal. Agar lolos PPDB SMA DKI Jakarta oleh 7 anak ini, kelak, 3 tahun dari sekarang, menjadi bukti bahwa, cara seleksi yang menggunakan umur, merupakan cara seleksi yang berpegang pada azas keadilan dan azas pemenuhan hak atas semua warga Indonesia. Dengan bukti, 7 anak ini, mampu menunjukkan perubahan nyata berdasarkan standar pendidikan, karena telah mencapai tujuan pendidikan.
Saya pun teringat tentang, cerita seorang anak bernama Thomas Alva Edison, yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tidak mampu mengikuti pembelajaran. Edison bukan anak reguler. Edison juga bukan anak yang perlu sekolah luar biasa. Kemampuannya belajar “BEYOND”. Melampaui cara belajar sekolah reguler dan sekolah luar biasa. Ya, Edison punya cara memahami pembelajaran yang tidak sama dengan anak reguler. Dengan cara belajarnya yang beyond, ia mampu menemukan lampu, setelah melalui 999 kali percobaan, yang tidak mampu dilakukan oleh ribuan atau jutaan orang reguler seusianya, di era kehidupan yang sama. Lampu penemuannya menjadi satu dari ribuan penemuannya yang bermanfaat (dan mendapat hak paten) membantu umat manusia hingga saat ini. Dimana sistim pendidikan saat itu, belum bisa menerima proses belajar Edison yang “BEYOND”. Edison telah menunjukkan keberhasilan pendidikan yang ”telah disesuaikan” ketika ia belajar tidak melewati jalur reguler.
Belajar dari cerita Edison tersebut, maka saya memahami, setiap anak termasuk ABK memiliki potensi, dan belajar dengan cara berbeda satu sama lain. Unik. Dengan banyak parameter, termasuk soal usia. Cara belajar masing-masing anak lah yang perlu dapat terakomodir. Agar anak mampu meningkatkan potensi dirinya dan kebermanfaatannya setelah mempelajari dan mengaplikasikan ilmu agar mampu berdampak positif. Inilah “Pendidikan yang berpihak pada anak”
Dibagian akhir, dalam tulisan saya kali ini, yang menyoroti bagian inklusi dalam PPDB DKI Jakarta, ijin untuk menekankan kembali apresiasi saya sebagai warganegara Indonesia, kepada para pemangku kebijakan atas perhatiannya pada pendidikan Inklusi. Saya, memiliki harapan besar bahwa kejadian ini dapat menjadi awalan nyata “Pendidikan untuk semua”, “Merdeka Belajar” dan “Pendidikan yang berpihak pada anak”. Prinsip-prinsip yang disampaikan oleh bapak Mentri Pendidikan Indonesia, Mas Mentri Nadim, sebagai update terbaik untuk dunia pendidikan Indonesia. Dalam konfrensi Pendidikan Indonesia tahun 2019 (link)
Dimana harapan saya, PPDB DKI ini dapat menjadi awalan untuk menghargai dan mendukung anak-anak Indonesia (siapapun, apapu kondisinya dan tinggal di belahan bumi Indonesia yang sebelah manapun), dengan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan, terpenuhi haknya. Hak mendapatkan pendidikan yang layak. Dan agar pendidikan di Indonesia terus bergerak maju. Maju tanpa mengundang rasa ketidak adilan, yang mungkin dirasakan oleh
1. Orangtua anak reguler
2. Orangtua ABK
3. Pendidik
4. Lembaga sekolah (baik reguler maupun khusus dan luar biasa)
Salam merdeka belajar
Salam pendidikan yang berpihak pada anak
Bunda Nefri
#BundaNefri
#EmpoweringSpecialParentingCoach
#PendidikanBermutuUntukSemua
#AnakMandiriAnakBahagia
#PusatKemandirianAnak
#MerdekaBelajar
#Pendidikanberpihakpadaanak
#PendidikanInklusif
#Bersamakitabisa
#Trainerforspecialneedsparenting
Salut Bu Nefri, perhatiannya pada pendidikan ABK terus menyala-nyala. Semoga apa yang disampaikan menjadi pertimbangan Pemda DKI.
Matur nuwun pak Ariefrisman. Mohon tetap berkenan membimbing saya