Ketika seorang anak dinyatakan sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK), kehidupan orangtua menjadi berbeda. Berbeda dalam menjalani hari-hari bersama ananda tercinta Ada banyak perasaan yang berkecamuk dan mengiring tiap langkah. Rasa ketakutan, kesedihan, harapan, semangat dan kadang keputus asaan.
Mencoba mencari tahu, saya melakukan diskusi dan sharing dengan banyak orangtua yang memiliki ABK. Saya mencoba memilah ketakutan terbesar mereka, melalui 5 pertanyaan yang saya ajukan. Saya meminta para orangtua untuk memilih salah satu dari ketakutan terbesarnya
- Saya takut tidak mampu bekerja dengan baik. Saya tidak mampu meningkatkan karierku hingga ke level impianku. Akibatnya saya tidak punya cukup dana untuk membiaya semua program pemulihan anak ABKku
- Saya takut, saya akan sakit-sakitan dan tidak berumur panjang. Sehingga saya tidak punya kesempatan untuk mendampingi bungsuku melalui kehidupannya
- Saya takut anak ABKku tidak akan mengalami hidup yang menyenangkan. Atau bahkan ia akan menghadapi banyak kesulitan dalam menjalani hari-harinya.
- Saya takut anak ABKku tidak akan mandiri, dan harus bergantung pada orang lain dalam kehidupannya. Orang-orang yang mungkin tidak dikenal sebelumnya. Orang-orang yang punya motivasi tertentu dalam membantunya. Orang-orang yang bisa saja bersikap tidak baik padanya
- Saya bahkan sangat takut, sehingga tidak mampu memilikirkan banyak hal lain yang menyenangkan seperti berlibur atau sekedar menikmati hari penuh kebahagiaan bersama suami dan anak-anakku
Wah ternyata pilihan terbanyak orangtua pada nomer 4 . Sebagian besar orang tua dengan anak-anak berkebutuhan khusus, takut dan khawatir , putra/I nya tidak mandiri. Saat anak-anak ini telah menjadi dewasa, mereka harus menggantungkan hidup pada orang lain. Mereka terpaksa bergantung pada saudara sekandung, atau bergantung pada panti-panti sosial, atau.. mereka harus bergantung pada orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya. Yang belum tentu orang-orang di mana mereka bergantung akan tulus, seperti kami orangtuanya.
Banyak orangtua yang berusaha mencari jalan untuk mengantisipasi rasa takut tersebut.. Beberapa orang tua memilihkan rumah sakit terbaik, agar anaknya dapat terjaga kesehatannya. Ada yang memilihkan sekolah terbaik, agar anaknya dapat memiliki bekal pendidikan. Tidak sedikit orangtua yang fokus memilihkan makanan terbaik, agar anaknya dapat memiliki tubuh yang prima. Memilih tempat tinggal di lingkungan terbaik, agar anaknya dapat berkembang kehiddupan sosialnya dengan baik, juga ada dalam daftar pilihan. Yang lain memilih para ahli terbaik untuk mendukung, mendampingi dan memberikan treatment khusus pada ananda. Selain itu, masih banyak hal terbaik lain, yang akan dipilihkan orangtua untuk anaknya. Harapan orangtua, jika mereka bisa membekalkan yang terbaik pada anak-anaknya, putra/inya akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan terlepas dari kesulitan hidup. Ini pilihan-pilihan yang patut di acungi jempol
Sayang sekali, berdasarkan data dari pusat statistik di New York, ada satu hal penting yang orang tua sering abaikan. Yaitu mengajarkan kemandirian pada putra/inya. Kemandirian menjadi prioritas terakhir dari semua pilihan program dukungan bagi Ananda. Tidak hanya untuk anak berkebutuhan khusus tetapi juga untuk anak-anak regular. Ini dibuktikan dengan data-data yang tercatat, makin banyak jumlah anak yang tak mandiri, dengan memilih tinggal dengan orangtunya. Sangat ironis, mengingat seperti telah dibahas di bagian atas, ketakutan anak tak mandiri, menjadi ketakutan terbesar orangtua. jauh lebih besar dari ketakutan-ketakutan lain pada anak.
“Boreu of Labor Statistic” United Departemen of Labor ( http://www.bls.gov ). Dengan informasi yang menyampaikan bahwa “By age 27, a majority of millennials born between 1980 and 1984 had moved out of their parental homes. However, more than half of them had returned home after initially leaving, and over 20 percent were still living with their parents at age 27.” Dan trend ini meningkat secara signifikan,
Sources Federal Reserve Bank Of New York Consumer Credit Panel (CCP)/ Equifax ; US Bureau of Labour Statistic; CoreLogic
Data tersebut cukup mengejutkan. Banyak anak yang di usia dewasa tidak mandiri. 1 dari 2 anak yang telah dewasa ditahun 2013, memillih untuk tinggal dengan orangtuanya. Alasan yang paling sering dijumpai adalah ketidak mampuan mengurus diri sendiri, terutama dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Seperti pembiayaan tempat tinggal dan kebutuhan pokok lainnya. Data di atas, tidak memisahkan antara anak-anak berkebutuhan khusus atau anak-anak regular. Anak-anak tidak dididik untuk berusaha mandiri, bangga dengan apa yang mampu diraih dan mengelola apa yang dimilikinya.
Ini menegaskan bahwa kemandirian tidak dimasukkan dalam program pendidikan secara khusus. Dari data tersebut juga dapat diperkirakan fenoma ini berawal dari anak-anak yang dilahirkan tahun 80an, kemandirian belum atau bahkan tidak mendapat proporsi dalam program pendidikan secara tepat. Terutama menjadi bagian dalam pola asuh orangtua.
Ups.. nanti dulu, kita belum bicara tentang kemandirian. Apa sebenarnya yang ingin dijelaskan dengan kata “Kemandirian” ?
Masrun , Antonius, Hasan Basri, Chabib Toha dan Kartini Kartono adalah sebagian ahli yang mencoba untuk mengartikan kata kemandirian tersebut. Ijinkan saya mencoba menyimpulkan dari pendapat-pendapat mereka bahwa “Kemandirian merupakan sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas, melakukan sesuatu atas dorongan sendiri dan kemampuan mengatur diri sendiri, sesuai dengan hak dan kewajibannya sehingga dapat menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi tanpa meminta bantuan atau tergantung dari orang lain dan dapat bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang telah diambil melalui berbagai pertimbangan sebelumnya.”
Dalam kesimpulan tersebut, sangat luas cakupannya. Mandiri yang coba digambarkan melingkupi banyak factor mendasar. Mulai dari “SELF HELP” (bina diri) hingga kemampuan tingkat lanjutan, seperti bekerja dan menghasilkan uang untuk membiayai kehidupannya. Hal yang menurut grafik di atas menjadi sebab banyaknya dewasa yang memilih tinggal dengan orangtua.
Lalu bagaimana dengan anak-anak berkebutuhan khusus, mampukah mereka mandiri? Sepertinya jika kita merujuk pada kesimpulan dari pendapat para ahli tersebut, harapan kita pada pencapaian kemandirian ABK sangat tidak realistis. Sangat besar kemungkinan ABK gagal dinyatakan mandiri.Oleh karena itu, khusus untuk ABK, saya ingin tambahkan kalimat : “Mandiri maksimal sesuai dengan kemampuan, hambatan dengan kekhususannya dan kondisi lingkungan di mana ABK tinggal” Tanpa ada kemandirian, anak-anak kita hanya akan menjadi beban orangtua, keluarga, lingkungan bahkan negara. Tanpa kemandirian, anak-anak kita akan berpotensi menjadi korban bullying, korban kejahatan seksual, korban penipuan, korban kekerasan dan masih banyak lagi . Pelakunya bisa dari orang yang tidak pernah di kenal, atau malah keluarga terdekat.
Tetap merujuk pada rangkuman pendapat para ahli, apapun kondisi seseorang, mereka tetap memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban untuk diri sendiri, keluarga ataupun lingkungan di mana mereka tinggal. Dan mereka butuh dukungan dalam melaksanakan dan mendapatkan hak dan kewajiban mereka. Saya berharap kita semua setuju dengan hal ini.
Informasi penting tentang kemandirian adalah : Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan dimandirikan lebih dari anak regular, karena jumlah ABK, yang mengalami kekerasan seksual 3 kali lebih banyak dari anak-anak regular.
(http://archive.vera.org/sites/default/files/resources/downloads/sexual-abuse-of-children-with-disabilities-national-snapshot.pdf)
Mari kita dukung anak-anak kita untuk mandiri. Lenyapkan semua ketakutan anda tentang masa depan suram Ananda. Yakin bahwa mereka bisa menjadi pribadi yang cemerlang, meskipun ada kekhususan mereka. Putra/I kita akan mampu menjadi penerus generasi dan kebanggan orangtua. Bukan beban ataupun korban.
by : Bunda Nefri, “Trainer Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus”
memandirikan anak sangat harus di pelajari sejak usia kecil, agar saat mereka tumbuh besar sudah terbiasa mandiri.
hal ini menjadi tugas untuk orangtua.